Dampak Perang Rusia-Ukraina terhadap Ekonomi RI: Analisis Mendalam dan Prospek Pemulihan

Nov 7, 2025 by recoveryshake.com 127 views

Dampak Perang Rusia-Ukraina terhadap Ekonomi RI: Analisis Mendalam dan Prospek Pemulihan

Dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi RI telah menjadi salah satu isu paling krusial yang membentuk lanskap ekonomi global dan nasional sejak invasi dimulai pada Februari 2022. Konflik geopolitik ini tidak hanya menimbulkan krisis kemanusiaan yang mendalam tetapi juga memicu gelombang kejutan ekonomi yang merambat ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebagai negara berkembang yang terintegrasi dalam sistem perdagangan global, Indonesia tidak luput dari imbas perang ini, terutama melalui fluktuasi harga komoditas, gangguan rantai pasok, dan tekanan inflasi. Memahami secara komprehensif bagaimana konflik di Eropa Timur ini memengaruhi perekonomian domestik kita adalah kunci untuk merumuskan kebijakan yang adaptif dan menjaga stabilitas ekonomi nasional.

Perang yang melibatkan dua pemain besar dalam pasar komoditas global—Rusia sebagai eksportir utama minyak, gas, gandum, dan pupuk, serta Ukraina sebagai lumbung pangan Eropa—secara langsung mengganggu pasokan dan memicu kenaikan harga secara drastis. Kenaikan harga energi dan pangan global ini menjadi pemicu utama inflasi di banyak negara, termasuk Indonesia. Selain itu, ketidakpastian geopolitik yang meningkat juga berdampak pada sentimen investor dan volatilitas pasar keuangan. Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai aspek dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi RI, menganalisis mekanisme transmisi, respons kebijakan yang diambil, serta prospek ekonomi Indonesia ke depan dalam menghadapi tantangan yang berkelanjutan.

Gelombang Kejut Global: Latar Belakang Konflik dan Implikasinya Terhadap Ekonomi Dunia

Ketika konflik bersenjata pecah antara Rusia dan Ukraina pada awal 2022, dunia menyaksikan sebuah peristiwa yang tidak hanya mengguncang tatanan geopolitik tetapi juga mengirimkan gelombang kejut ekonomi yang terasa hingga ke pelosok bumi. Dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi RI tidak dapat dipisahkan dari konteks global ini, mengingat Indonesia adalah bagian integral dari perekonomian dunia. Rusia dan Ukraina bukanlah sekadar dua negara yang bertikai; mereka adalah pemain kunci dalam rantai pasok global untuk sejumlah komoditas vital. Rusia, misalnya, adalah salah satu produsen minyak dan gas alam terbesar di dunia, serta pemasok utama gandum, pupuk, dan berbagai logam industri seperti nikel dan aluminium. Sementara itu, Ukraina dikenal sebagai ‘keranjang roti Eropa’, pengekspor besar gandum, jagung, dan minyak bunga matahari.

Gangguan pasokan dari kedua negara ini secara otomatis menciptakan shock pasokan global yang parah. Harga minyak mentah dunia, yang sudah menunjukkan tren kenaikan pasca-pandemi COVID-19, melonjak tajam, mencapai level tertinggi dalam lebih dari satu dekade. Hal yang sama terjadi pada harga gas alam, batu bara, dan pangan seperti gandum. Kenaikan harga energi dan pangan ini, pada gilirannya, memicu tekanan inflasi global yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam beberapa dekade terakhir. Negara-negara di seluruh dunia berjuang menghadapi biaya hidup yang meningkat, yang kemudian memaksa bank sentral untuk memperketat kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga. Kebijakan moneter yang lebih ketat ini, terutama oleh Federal Reserve AS, memicu apresiasi dolar AS dan menyebabkan arus modal keluar dari negara-negara berkembang, menambah tekanan pada mata uang lokal.

Selain itu, sanksi ekonomi besar-besaran yang dijatuhkan Barat terhadap Rusia juga memperumit situasi. Meskipun bertujuan untuk melumpuhkan ekonomi Rusia, sanksi ini secara tidak langsung menciptakan disrupsi pada sistem perdagangan dan keuangan global, memicu kekhawatiran resesi di ekonomi-ekonomi utama. Gangguan pada rantai pasok global yang sudah rapuh akibat pandemi diperparah oleh konflik ini, menyebabkan keterlambatan pengiriman, kenaikan biaya logistik, dan kelangkaan beberapa bahan baku. Oleh karena itu, memahami dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi RI memerlukan pemahaman mendalam tentang bagaimana gejolak global ini pada akhirnya termanifestasi dalam dinamika ekonomi domestik Indonesia. Kondisi global yang penuh ketidakpastian ini menuntut kebijakan yang pruden dan responsif dari pemerintah Indonesia untuk melindungi daya beli masyarakat dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

Inflasi Melonjak: Tekanan Harga Komoditas Global Terhadap Daya Beli Nasional

Salah satu dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi RI yang paling langsung dan terasa oleh masyarakat adalah lonjakan inflasi. Konflik di Eropa Timur tersebut secara signifikan mendorong kenaikan harga komoditas global, terutama energi dan pangan, yang kemudian merembet ke dalam negeri. Indonesia, sebagai importir bersih beberapa komoditas strategis seperti minyak mentah dan gandum, sangat rentan terhadap guncangan harga internasional. Kenaikan harga minyak mentah Brent di pasar global, misalnya, secara langsung memengaruhi biaya impor bahan bakar minyak (BBM) dan pada gilirannya memicu kenaikan harga jual BBM di dalam negeri, meskipun pemerintah telah berupaya menahan dengan subsidi.

Kenaikan harga energi tidak hanya berdampak pada sektor transportasi, tetapi juga pada biaya produksi di berbagai sektor industri, mulai dari manufaktur hingga pertanian. Biaya logistik yang lebih tinggi karena harga BBM yang mahal, serta kenaikan harga listrik karena penggunaan bahan bakar pembangkit yang lebih mahal, akhirnya diteruskan ke konsumen dalam bentuk harga barang dan jasa yang lebih tinggi. Ini menciptakan efek domino yang membebani daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah. Selain energi, sektor pangan juga menghadapi tekanan besar. Rusia dan Ukraina adalah pemasok gandum dan minyak bunga matahari terbesar di dunia. Terganggunya ekspor dari kedua negara ini menyebabkan harga gandum global melonjak, yang kemudian memengaruhi harga produk turunannya seperti terigu, mi instan, dan roti di Indonesia. Harga minyak goreng di dalam negeri juga sempat melonjak signifikan, meskipun didorong oleh kombinasi faktor domestik dan global, termasuk kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar internasional.

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk memitigasi dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi RI terkait inflasi ini. Salah satu strategi utama adalah dengan mengalokasikan anggaran subsidi yang besar untuk BBM dan listrik agar harga jual kepada masyarakat tetap terjangkau. Namun, ini juga membebani APBN. Bank Indonesia juga responsif dengan melakukan pengetatan kebijakan moneter, termasuk menaikkan suku bunga acuan secara bertahap untuk menahan laju inflasi inti dan mengelola ekspektasi inflasi. Meskipun demikian, tekanan inflasi tetap menjadi tantangan serius, menuntut kebijakan yang terkoordinasi antara fiskal dan moneter untuk menjaga stabilitas harga dan melindungi daya beli masyarakat dari guncangan harga komoditas global yang terus berlanjut.

Rantai Pasok Terganggu: Dari Logistik Hingga Keamanan Pangan

Gangguan pada rantai pasok global merupakan salah satu dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi RI yang tidak kalah pentingnya. Konflik ini memperparah kerentanan rantai pasok yang sudah ada akibat pandemi COVID-19, menyebabkan keterlambatan, kenaikan biaya, dan bahkan kelangkaan untuk beberapa barang dan bahan baku penting. Dua sektor utama yang merasakan dampak signifikan adalah logistik dan keamanan pangan. Penutupan jalur pelayaran di Laut Hitam, penundaan di pelabuhan-pelabuhan utama Eropa, serta larangan terbang di beberapa wilayah, semuanya berkontribusi pada peningkatan biaya pengiriman dan waktu transit barang. Biaya logistik yang lebih tinggi ini pada akhirnya dibebankan kepada importir dan konsumen, menambah tekanan inflasi dan memperlambat aktivitas ekonomi.

Dalam konteks keamanan pangan, Indonesia menghadapi tantangan serius. Meskipun Indonesia tidak mengimpor gandum langsung dari Rusia atau Ukraina dalam jumlah besar, ketergantungan pada pasar gandum global sangat tinggi. Ketika pasokan dari ‘keranjang roti Eropa’ terganggu, harga gandum di pasar internasional melonjak, dan ini secara langsung memengaruhi industri makanan dan minuman di Indonesia yang mengandalkan terigu sebagai bahan baku utama. Produk-produk seperti mi instan, roti, dan kue mengalami kenaikan harga, yang kemudian membebani konsumen. Selain gandum, ketersediaan dan harga pupuk juga menjadi perhatian. Rusia adalah eksportir pupuk global yang signifikan. Sanksi terhadap Rusia dan gangguan ekspornya menyebabkan harga pupuk melambung. Kenaikan harga pupuk ini sangat memberatkan petani di Indonesia, meningkatkan biaya produksi pertanian dan berpotensi mengancam ketahanan pangan domestik dalam jangka panjang.

Tidak hanya pangan, beberapa sektor industri di Indonesia juga merasakan dampak gangguan rantai pasok akibat dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi RI. Sebagai contoh, industri otomotif dan elektronik global yang sangat bergantung pada pasokan semikonduktor dan komponen lainnya, turut terpengaruh. Meskipun Indonesia mungkin tidak secara langsung bergantung pada impor dari Rusia atau Ukraina untuk komponen-komponen ini, gangguan pada rantai pasok global bersifat kaskade, di mana masalah di satu bagian dunia dapat memengaruhi ketersediaan dan harga di bagian lain. Pemerintah Indonesia telah berupaya mencari alternatif sumber pasokan dan memperkuat produksi domestik untuk mengurangi ketergantungan pada satu atau dua negara. Kebijakan ini penting untuk membangun ketahanan ekonomi nasional dalam menghadapi gejolak global di masa depan dan memastikan keberlanjutan pasokan barang-barang esensial bagi masyarakat dan industri.

Dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi RI juga sangat terasa pada stabilitas nilai tukar Rupiah dan dinamika arus modal. Konflik ini telah memicu ketidakpastian global yang tinggi, mendorong investor untuk mencari aset yang lebih aman (safe haven asset), terutama dolar Amerika Serikat (AS). Akibatnya, dolar AS menguat signifikan terhadap hampir semua mata uang dunia, termasuk Rupiah. Penguatan dolar AS ini diperparah oleh kebijakan pengetatan moneter agresif yang dilakukan oleh Federal Reserve AS untuk memerangi inflasi di negaranya. Kenaikan suku bunga The Fed membuat imbal hasil aset di AS lebih menarik, yang kemudian memicu arus modal keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.

Arus modal keluar ini menyebabkan tekanan depresiasi pada Rupiah. Pelemahan nilai tukar Rupiah memiliki beberapa implikasi negatif bagi perekonomian Indonesia. Pertama, biaya impor menjadi lebih mahal. Ini berlaku untuk barang-barang konsumsi, bahan baku industri, dan barang modal yang dibeli dari luar negeri. Kenaikan biaya impor ini dapat memicu inflasi impor dan meningkatkan tekanan pada harga barang di dalam negeri. Kedua, beban pembayaran utang luar negeri dalam mata uang asing menjadi lebih besar. Perusahaan atau pemerintah yang memiliki utang dalam dolar AS akan membutuhkan Rupiah yang lebih banyak untuk melunasi kewajibannya, berpotensi memengaruhi kesehatan fiskal dan keuangan. Ketiga, sentimen investor domestik dan asing dapat terganggu, mengurangi minat untuk berinvestasi di Indonesia jika dianggap terlalu berisiko.

Bank Indonesia (BI) telah memainkan peran krusial dalam menjaga stabilitas Rupiah dan mengelola arus modal. BI secara konsisten melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk meredam volatilitas yang berlebihan dan menjaga nilai tukar agar tetap stabil. Selain itu, BI juga menaikkan suku bunga acuan secara bertahap sebagai respons terhadap kenaikan suku bunga global dan untuk menarik kembali modal asing serta menahan inflasi. Koordinasi yang kuat antara kebijakan moneter BI dan kebijakan fiskal pemerintah sangat penting untuk menghadapi tekanan eksternal ini. Pemerintah juga terus berupaya menciptakan iklim investasi yang kondusif melalui reformasi struktural, seperti Undang-Undang Cipta Kerja, untuk menjaga kepercayaan investor dan menarik investasi langsung asing (FDI) yang bersifat jangka panjang. Meskipun Rupiah mengalami tekanan, upaya-upaya ini bertujuan untuk memastikan bahwa dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi RI dalam hal stabilitas keuangan tetap terkendali dan tidak mengganggu fundamental ekonomi secara keseluruhan.

Neraca Perdagangan: Keuntungan Sesaat di Tengah Badai Global

Paradoks yang menarik dari dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi RI adalah fenomena di mana Indonesia justru menikmati surplus neraca perdagangan yang signifikan, terutama pada periode awal konflik. Hal ini terjadi karena Indonesia adalah eksportir besar komoditas seperti batu bara, minyak sawit mentah (CPO), nikel, dan timah. Ketika perang meletus dan pasokan global terganggu, harga komoditas-komoditas ini melonjak tajam. Kenaikan harga ini meningkatkan nilai ekspor Indonesia secara drastis, jauh melampaui peningkatan nilai impor. Dengan demikian, Indonesia berhasil mencatat surplus neraca perdagangan yang rekor dan berkelanjutan selama beberapa bulan, bahkan tahun.

Surplus neraca perdagangan yang besar ini memberikan beberapa manfaat bagi perekonomian Indonesia. Pertama, ini berkontribusi pada penguatan cadangan devisa negara, yang merupakan bantalan penting untuk menjaga stabilitas makroekonomi, termasuk menahan tekanan pada nilai tukar Rupiah. Kedua, surplus ini juga memberikan ruang fiskal bagi pemerintah untuk mengalokasikan dana subsidi energi dan pangan yang besar guna meredam inflasi domestik dan melindungi daya beli masyarakat. Selain itu, kinerja ekspor yang kuat juga mendukung pertumbuhan ekonomi di sektor-sektor terkait dan menciptakan lapangan kerja.

Namun, keuntungan ini bisa bersifat sesaat dan memiliki sisi lain yang perlu dicermati. Ketergantungan pada harga komoditas yang tinggi membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap volatilitas pasar global. Apabila harga komoditas kembali turun secara drastis, surplus perdagangan bisa menyusut dengan cepat. Selain itu, meskipun nilai ekspor meningkat, beberapa impor penting seperti gandum, gula, dan bahan baku industri juga mengalami kenaikan harga, yang berarti beban biaya bagi produsen dan konsumen tetap ada. Industri manufaktur yang mengandalkan impor bahan baku dan barang modal juga merasakan kenaikan biaya, yang dapat mengurangi daya saing mereka.

Pemerintah Indonesia menyadari bahwa keberlanjutan surplus ini bukan tanpa risiko. Oleh karena itu, strategi jangka panjang adalah diversifikasi ekonomi, yaitu mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas mentah dan meningkatkan nilai tambah produk ekspor melalui hilirisasi industri. Inisiatif hilirisasi nikel, misalnya, bertujuan untuk mengubah nikel mentah menjadi produk bernilai tinggi seperti baterai kendaraan listrik, yang akan memberikan manfaat ekonomi yang lebih berkelanjutan. Meskipun dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi RI telah memberikan dorongan pada kinerja ekspor, Indonesia tetap harus waspada dan terus berupaya membangun fondasi ekonomi yang lebih kuat dan tahan terhadap gejolak global di masa depan.

Respon Kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia: Menjaga Keseimbangan Ekonomi

Menghadapi berbagai dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi RI, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) telah merespons dengan serangkaian kebijakan yang terkoordinasi dan adaptif. Tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas ekonomi makro, melindungi daya beli masyarakat, dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global yang tinggi. Dari sisi fiskal, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi energi (BBM dan listrik) dan pangan yang sangat besar. Subsidi ini bertujuan untuk menahan laju kenaikan harga jual kepada masyarakat, sehingga inflasi domestik tidak melonjak lebih tinggi dan daya beli tidak tergerus terlalu parah. Program bantuan sosial juga diperkuat untuk membantu masyarakat rentan menghadapi kenaikan biaya hidup.

Namun, besarnya subsidi ini juga menimbulkan tekanan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Oleh karena itu, pemerintah juga melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi secara bertahap, disertai dengan pengalihan sebagian anggaran subsidi menjadi bantuan langsung tunai (BLT) untuk kelompok masyarakat yang paling membutuhkan. Langkah ini adalah bagian dari upaya untuk menjaga disiplin fiskal sekaligus memberikan perlindungan sosial. Selain itu, pemerintah juga berupaya mengamankan pasokan pangan melalui diversifikasi sumber impor dan peningkatan produksi domestik, terutama untuk komoditas strategis seperti beras dan jagung, untuk mengurangi ketergantungan pada pasar global yang volatil.

Dari sisi moneter, Bank Indonesia mengambil langkah-langkah proaktif untuk mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah. BI secara bertahap menaikkan suku bunga acuan (BI-7 Day Reverse Repo Rate) sebagai respons terhadap kenaikan inflasi dan pengetatan kebijakan moneter global oleh bank sentral utama lainnya, terutama Federal Reserve AS. Kenaikan suku bunga ini bertujuan untuk mendinginkan permintaan domestik, mengelola ekspektasi inflasi, dan menjaga daya tarik aset keuangan Rupiah untuk mencegah arus modal keluar. BI juga secara aktif melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk meredam volatilitas nilai tukar Rupiah dan menjaga stabilitasnya. Koordinasi erat antara kebijakan fiskal dan moneter terbukti menjadi kunci keberhasilan dalam menavigasi gejolak ekonomi yang ditimbulkan oleh perang Rusia-Ukraina. Forum koordinasi seperti Tim Pengendali Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP-TPID) terus bekerja untuk memantau harga, menjaga pasokan, dan memastikan kelancaran distribusi barang. Respons kebijakan yang cepat dan terukur ini menjadi faktor penting dalam menjaga resiliensi ekonomi Indonesia dalam menghadapi dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi RI.

Prospek Ekonomi Indonesia di Tengah Gejolak Geopolitik

Dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi RI memang telah menghadirkan serangkaian tantangan signifikan, namun prospek ekonomi Indonesia tetap menunjukkan ketahanan yang relatif baik dibandingkan banyak negara lain. Meskipun menghadapi tekanan inflasi, volatilitas nilai tukar, dan gangguan rantai pasok, fundamental ekonomi Indonesia yang kuat, ditopang oleh pasar domestik yang besar dan sumber daya alam yang melimpah, menjadi penopang utama. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia masih positif dan cenderung stabil, didukung oleh konsumsi rumah tangga yang resilient dan kinerja ekspor yang mengesankan berkat harga komoditas yang tinggi di awal konflik.

Namun, ke depan, ada beberapa tantangan dan peluang yang perlu dicermati. Tantangan utama adalah potensi perlambatan ekonomi global akibat pengetatan moneter di negara-negara maju dan berlanjutnya ketidakpastian geopolitik. Jika ekonomi global melambat, permintaan terhadap ekspor komoditas Indonesia bisa menurun, yang pada gilirannya akan memengaruhi kinerja neraca perdagangan dan pertumbuhan ekonomi. Inflasi global, meskipun mulai melandai, masih menjadi ancaman, terutama jika terjadi guncangan pasokan baru. Selain itu, perubahan iklim dan transisi energi juga akan terus membentuk lanskap ekonomi global dan domestik.

Peluang bagi Indonesia terletak pada upaya berkelanjutan untuk melakukan hilirisasi industri. Dengan mengolah komoditas mentah menjadi produk bernilai tambah tinggi, seperti nikel menjadi baterai kendaraan listrik, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada fluktuasi harga komoditas dan menciptakan diversifikasi ekonomi yang lebih kokoh. Peningkatan investasi di sektor-sektor strategis, pengembangan energi terbarukan, dan penguatan infrastruktur digital juga akan menjadi pendorong pertumbuhan jangka panjang. Pemerintah terus berupaya menarik investasi asing langsung (FDI) melalui penyederhanaan regulasi dan penciptaan iklim usaha yang kondusif.

Tantangan dan Peluang bagi Sektor Industri

Sektor industri di Indonesia menghadapi tantangan ganda: kenaikan biaya bahan baku dan energi akibat perang, serta potensi penurunan permintaan dari pasar ekspor jika ekonomi global melemah. Industri manufaktur yang bergantung pada impor bahan baku seperti baja, plastik, atau semikonduktor merasakan kenaikan harga yang menekan margin keuntungan. Namun, bagi sektor-sektor seperti pertambangan dan perkebunan, harga komoditas yang tinggi sempat menjadi berkah. Ke depan, tekanan biaya masih akan ada, namun sektor industri dapat memanfaatkan peluang dari pasar domestik yang besar dan program hilirisasi pemerintah.

Prioritas Keamanan Pangan dan Energi

Pengalaman dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi RI telah mempertegas pentingnya keamanan pangan dan energi. Pemerintah menempatkan ini sebagai prioritas dengan memperkuat cadangan pangan nasional, meningkatkan produksi pertanian domestik, dan mencari diversifikasi sumber impor untuk komoditas seperti gandum dan pupuk. Di sektor energi, upaya untuk mengembangkan energi baru terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil juga dipercepat, tidak hanya untuk tujuan keberlanjutan lingkungan tetapi juga untuk mencapai ketahanan energi nasional.

Kesimpulan: Menavigasi Ketidakpastian dengan Strategi Adaptif

Secara keseluruhan, dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi RI telah menjadi ujian besar bagi ketahanan ekonomi nasional. Gejolak harga komoditas global, tekanan inflasi, ketidakpastian pasar keuangan, dan gangguan rantai pasok adalah tantangan nyata yang harus dihadapi. Namun, berkat respons kebijakan yang cepat dan terkoordinasi dari pemerintah dan Bank Indonesia, serta fundamental ekonomi yang relatif kuat, Indonesia mampu menavigasi badai geopolitik ini dengan cukup baik. Surplus neraca perdagangan yang signifikan, meskipun sebagian besar didorong oleh kenaikan harga komoditas, memberikan bantalan fiskal dan cadangan devisa yang penting.

Meskipun demikian, kewaspadaan harus tetap dijaga. Ketidakpastian global masih tinggi, dan risiko perlambatan ekonomi global tetap ada. Oleh karena itu, strategi adaptif menjadi sangat krusial. Indonesia perlu terus memperkuat diversifikasi ekonomi, mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas mentah, dan meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi. Peningkatan investasi di sektor-sektor produktif, penguatan ketahanan pangan dan energi, serta pengelolaan fiskal dan moneter yang pruden akan menjadi kunci untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pengalaman dari dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi RI ini juga menekankan pentingnya kolaborasi internasional dan diplomasi ekonomi untuk menciptakan lingkungan global yang lebih stabil dan kondusif bagi perdagangan dan pembangunan. Dengan langkah-langkah yang tepat, Indonesia dapat terus tumbuh dan berkembang, menanggapi setiap tantangan dengan kebijakan yang proaktif dan berorientasi masa depan.